Kamis, 17 Oktober 2013

SUKA DUKA MENJADI PENGHULU

Awal diangkat ditanya “Apa sudah bisa menikahkan?” Ternyata penanya meragukan apa saya bisa menggunakan bahasa daerah. Penghulu dituntut serba bisa dalam hal pelaksanaan akad nikah, yang saya pelajari pertama adalah penyebutan nominal mahar yang anak muda sekarang dibuat macam-macam.
Pertanyaan kedua yang ditujukan kepada penghulu “Apakah sudah Menikah?”. Seringkali itu menjadi topik dalam majlis akad nikah. Pernah ada P3N yang menjadikan ini sebagai bahan yang disampaikan dalam majelis dengan tujuan agar masyarakat tidak mewakilkan kepada saya dan menyerahkan kepada dia sendiri untuk meningkatkan pamornya. Maklum P3N baru…
Pasangan pertama yang saya nikahkan seumur orang tua saya. Hal ini menyebabkan saya demam panggung, apalagi dengan menggunakan bahasa daerah. Tetapi dengan segenap kepercayaan diri saya maju dengan tekad bahwa penampilan pertama menentukan keberhasilan langkah selanjutnya. Dan Alhamdulillah “Berhasil”.
Di daerah pedalaman yang agak jauh dari perkotaan, bahasa yang dipergunakan tidak saya pahami. Saya coba komunikasi dengan bahasa daerah tidak paham, apalagi bahasa nasional. Kalau sudah begini saya tinggal bilang kepada P3N “Tolong Bapak yang menikahkan, saya menyaksikan saja”.
Di beberapa tempat, saingan antara Kepala KUA dengan penghulu bahkan antara penghulu senior dengan penghulu yunior tidak jarang terjadi. Ruang lingkup dibatasi agar tidak terlalu banyak komunikasi dengan pihak luar dengan tujuan agar “Belang” atasan tidak diketahui, sedangkan penghulu senior lebih takut jatah mereka diambil alih oleh yunior.
Hal-hal lucu dan menarik sering ditemui di masyarakat, baru datang ke lokasi sudah disambut nyanyian muda-mudi "Pa Penghulu Pa Penghulu, tolong dong nikahkan Dia", kemudian disambut para remaja sambil menata pelaminan dengan ucapan "Sah". Seringkali saya datang malah dibilang "Itu Manten Laki sudah datang", malah kalo pengantin pria belum datang ada yang tiba-tiba ngomong "Penghulunya Ganteng, Nikahkan saja sama Penghulunya daripada nunggu lama-lama". 
Dalam hal pelayanan administrasi, masyarakat sering mengharapkan pelayan yang serba instan, cepat dan tidak berbelit-belit, tetapi disisi lain persyaratan yang dibutuhkan tidak dipenuhi. Akhirnya muncul kata-kata “Masyarakat akan siap membayar berapa saja asal tidak dipersulit”. Kadang ada yang bersikeras meminta pelayan cepat dengan mengaku “Saya adalah …” dsb.. Dua hal tersebut (Semua bisa dibayar dan membawa-bawa nama) adalah hal yang paling saya benci.
Mencoba menghilangkan kebiasaan buruk di lingkungan kita sendiri bukan hal yang mudah, mendapatkan tambahan penghasilan lain di lingkungan kantor sudah menjadi tradisi bahkan dianggap wajar. Saya mencoba menghilangkan hal tersebut, tetapi ada yang mengatakan “Bagaimana dengan yang lainnya”. Alhamdulillah, beberapa bagian pelayanan yang dulunya dihubungkan dengan uang sudah tidak ada lagi, tetapi hal tersebut belum bisa membebaskan diri dari kata “Korupsi”.
Lupa dan alpa adalah manusiawi dan pernah dialami oleh banyak orang, tetapi yang saya alami berujung pada sejajarnya tandatangan saya dengan “Pak Menteri”. Hebat.

Segala sesuatu ada resikonya, saya tidak mengharapkan jabatan naik karena semakin tinggi jabatan maka semakin “kencang” ditiup angin, saya juga tidak ingin tetap seperti ini karena factor kebosanan tetap ada apalagi kalau sudah tidak kondusif lagi dan saya tidak menghendaki turun jabatan karena di tempat lain staf juga dianggap sapi perah. Kesimpulan yang saya buat adalah apapun jabatan sekarang hendaknya diterima apa adanya dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Tulisan ini hanya sekedar mereview kembali perjalan karir saya.
Bukan bertujuan lain....

Anda adalah pengunjung ke :