Awal diangkat ditanya “Apa sudah bisa
menikahkan?” Ternyata penanya meragukan apa saya bisa menggunakan bahasa
daerah. Penghulu dituntut serba bisa dalam hal pelaksanaan akad nikah, yang
saya pelajari pertama adalah penyebutan nominal mahar yang anak muda sekarang
dibuat macam-macam.
Pertanyaan kedua yang ditujukan
kepada penghulu “Apakah sudah Menikah?”. Seringkali itu menjadi topik dalam
majlis akad nikah. Pernah ada P3N yang menjadikan ini sebagai bahan yang
disampaikan dalam majelis dengan tujuan agar masyarakat tidak mewakilkan kepada
saya dan menyerahkan kepada dia sendiri untuk meningkatkan pamornya. Maklum P3N
baru…
Pasangan pertama yang saya nikahkan
seumur orang tua saya. Hal ini menyebabkan saya demam panggung, apalagi dengan
menggunakan bahasa daerah. Tetapi dengan segenap kepercayaan diri saya maju
dengan tekad bahwa penampilan pertama menentukan keberhasilan langkah
selanjutnya. Dan Alhamdulillah “Berhasil”.
Di daerah pedalaman yang agak
jauh dari perkotaan, bahasa yang dipergunakan tidak saya pahami. Saya coba
komunikasi dengan bahasa daerah tidak paham, apalagi bahasa nasional. Kalau
sudah begini saya tinggal bilang kepada P3N “Tolong Bapak yang menikahkan, saya
menyaksikan saja”.
Di beberapa tempat, saingan
antara Kepala KUA dengan penghulu bahkan antara penghulu senior dengan penghulu
yunior tidak jarang terjadi. Ruang lingkup dibatasi agar tidak terlalu banyak
komunikasi dengan pihak luar dengan tujuan agar “Belang” atasan tidak
diketahui, sedangkan penghulu senior lebih takut jatah mereka diambil alih oleh
yunior.
Hal-hal lucu dan menarik sering ditemui di masyarakat, baru datang ke lokasi sudah disambut nyanyian muda-mudi "Pa Penghulu Pa Penghulu, tolong dong nikahkan Dia", kemudian disambut para remaja sambil menata pelaminan dengan ucapan "Sah". Seringkali saya datang malah dibilang "Itu Manten Laki sudah datang", malah kalo pengantin pria belum datang ada yang tiba-tiba ngomong "Penghulunya Ganteng, Nikahkan saja sama Penghulunya daripada nunggu lama-lama".
Dalam hal pelayanan administrasi,
masyarakat sering mengharapkan pelayan yang serba instan, cepat dan tidak
berbelit-belit, tetapi disisi lain persyaratan yang dibutuhkan tidak dipenuhi. Akhirnya
muncul kata-kata “Masyarakat akan siap membayar berapa saja asal tidak
dipersulit”. Kadang ada yang bersikeras meminta pelayan cepat dengan mengaku “Saya
adalah …” dsb.. Dua hal tersebut (Semua bisa dibayar dan membawa-bawa nama)
adalah hal yang paling saya benci.
Mencoba menghilangkan kebiasaan
buruk di lingkungan kita sendiri bukan hal yang mudah, mendapatkan tambahan
penghasilan lain di lingkungan kantor sudah menjadi tradisi bahkan dianggap
wajar. Saya mencoba menghilangkan hal tersebut, tetapi ada yang mengatakan “Bagaimana
dengan yang lainnya”. Alhamdulillah, beberapa bagian pelayanan yang dulunya
dihubungkan dengan uang sudah tidak ada lagi, tetapi hal tersebut belum bisa
membebaskan diri dari kata “Korupsi”.
Lupa dan alpa adalah manusiawi
dan pernah dialami oleh banyak orang, tetapi yang saya alami berujung pada
sejajarnya tandatangan saya dengan “Pak Menteri”. Hebat.
Segala sesuatu ada resikonya, saya
tidak mengharapkan jabatan naik karena semakin tinggi jabatan maka semakin “kencang”
ditiup angin, saya juga tidak ingin tetap seperti ini karena factor kebosanan
tetap ada apalagi kalau sudah tidak kondusif lagi dan saya tidak menghendaki turun
jabatan karena di tempat lain staf juga dianggap sapi perah. Kesimpulan yang
saya buat adalah apapun jabatan sekarang hendaknya diterima apa adanya dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Tulisan ini hanya sekedar mereview kembali perjalan karir saya.
Bukan bertujuan lain....
Tulisan ini hanya sekedar mereview kembali perjalan karir saya.
Bukan bertujuan lain....