Jumat, 15 November 2013

MENCARI IDOLA

Saya adalah PNS penghulu yang baru beberapa tahun menjadi Kepala KUA, Jabatan ini begitu berat buat saya, sampai beberapa kali sempat terpikir untuk kembali ke jabatan fungsional lain yang pernah saya ajukan yang bahkan SK nya sudah keluar.
Dari awal saya berpikir bahwa saya bukan orang “lapangan”, saya lebih senang dengan tugas meja dan konseptor, nyatanya di beberapa organisasi sosial yang saya geluti saya selalu diposisikan sebagai sekretaris.  Pernah ada pendapat lain dari salah seorang teman yang menilai diri saya “Kemungkinan besar kamu tidak akan pernah menjadi orang pertama pengambil kebijakan”.  Hal tersebut mempertegas keinginan saya untuk sekedar menjadi pegawai biasa saja dan bukan menjadi pimpinan di unit terkecil seperti KUA ini.
Selama ini berita tentang instansi saya begitu miring dan betul-betul tidak mengenakkan, beberapa forum dialog di dunia maya begitu keras mengumpat dan mencela, hal tersebut tidak terlepas dari anggapan biaya nikah yang selama ini dirasa berat. Selama inipun pengambil kebijakan, entah hanya bercanda atau serius mengatakan menutup mata dengan hal tersebut, karena dianggap pendapatan lain dari penghulu, dan saya tegas-tegas langsung menentang  pernyataan tersebut dan saya katakan bahwa sama halnya dengan menjerumuskan saudara sendiri.
Saya mempunyai prinsip untuk melakukan yang terbaik dimanapun saya ditempatkan. Oleh karena itu, selama saya di KUA, saya harus mencari pola terbaik yang bisa saya lakukan.  Beberapa contoh kepemimpinan KUA serta kebijakan yang diterapkannya sudah saya coba telusuri untuk saya jadikan panutan saya, tapi selama ini belum ada yang memuaskan, akhirnya yang bisa  saya lakukan hanyalah mencoba menerapkan yang terbaik yang bisa saya usahakan yang diputuskan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan pihak yang terlibat langsung.
Sebenarnya ada satu contoh KUA yang bisa saya ikuti tetapi terus terang belum mampu saya terapkan karena  banyak faktor yang tidak sama dan KUA saya belum dapat menerapkan hal tersebut, diantaranya :
1.       Ketika ditunjuk untuk menjadi Kepala KUA, beliau sempat menolak, tetapi kami sebagai rekannya mencoba untuk mengingatkan bahwa tidak ada orang lain lagi yang bisa menduduki posisi tersebut.
2.       Tidak hanya sekedar melayani administrasi, tetapi melayani, membimbing serta mampu mengayomi warganya.
3.       Tidak memungut biaya sepeserpun dari pelayanannya yang memang tidak ada aturannya, bahkan beberapa dokumen yang dikeluarkan dituliskan biaya gratis.
4.       KUA hanya menerima biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000,- sebagaimana aturan yang berlaku dan tidak menerima biaya lain –lain lagi.
5.       Biaya operasional KUA hanya mengandalkan DIPA rutin sebanyak Rp. 2.000.000,/bulan
6.       Pada awalnya transport petugas untuk pelaksanaan pencatatan nikah diluar kantor mengandalkan pemberian masyarakat tanpa ditetapkan sebelumnya. Akan tetapi karena hal seperti itu tetap dianggap sebagai gratifikasi maka KUA mulai saat ini akan berusaha menolak, tanpa harus menghapus pelaksanaan nikah di luar kantor.
Mengapa hal tersebut dapat diterapkan di KUA tersebut sedangkan di KUA saya tidak bisa, karena sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya bahwa ada beberapa perbedaan situasi yang memungkinkan yaitu :
1.       P3N sebagian besar mendukung dalam rangka menuju kebaikan, tentunya pro kontra ada tetapi kenyataannya bisa dijalankan.
2.       Operasional daya dan jasa kantor relatif sedikit.
3.       Tidak ada setoran yang macam-macam (termasuk RTB).
4.       Tidak mengangkat honorer, jadi tidak harus memikirkan pengeluaran lain.
5.       Jumlah pelaksanaan nikah 350/setahun.
Dengan kondisi demikian, maka sangat memungkinkan untuk menjalankan aktifitas kantor tanpa harus berupaya untuk mendapatkan penghasilan lain.  Saya tidak tahu, berapa KUA di Indonesia yang bisa seperti ini, bagi saya ini memang sangat ideal dan saya berupaya untuk mengikuti jejaknya.



Anda adalah pengunjung ke :