Dari awal saya berpikir bahwa
saya bukan orang “lapangan”, saya lebih senang dengan tugas meja dan konseptor,
nyatanya di beberapa organisasi sosial yang saya geluti saya selalu diposisikan
sebagai sekretaris. Pernah ada pendapat
lain dari salah seorang teman yang menilai diri saya “Kemungkinan besar kamu
tidak akan pernah menjadi orang pertama pengambil kebijakan”. Hal tersebut mempertegas keinginan saya untuk
sekedar menjadi pegawai biasa saja dan bukan menjadi pimpinan di unit terkecil
seperti KUA ini.
Selama ini berita tentang
instansi saya begitu miring dan betul-betul tidak mengenakkan, beberapa forum
dialog di dunia maya begitu keras mengumpat dan mencela, hal tersebut tidak
terlepas dari anggapan biaya nikah yang selama ini dirasa berat. Selama inipun
pengambil kebijakan, entah hanya bercanda atau serius mengatakan menutup mata
dengan hal tersebut, karena dianggap pendapatan lain dari penghulu, dan saya
tegas-tegas langsung menentang pernyataan tersebut dan saya katakan bahwa
sama halnya dengan menjerumuskan saudara sendiri.
Saya mempunyai prinsip untuk
melakukan yang terbaik dimanapun saya ditempatkan. Oleh karena itu, selama saya
di KUA, saya harus mencari pola terbaik yang bisa saya lakukan. Beberapa contoh kepemimpinan KUA serta
kebijakan yang diterapkannya sudah saya coba telusuri untuk saya jadikan
panutan saya, tapi selama ini belum ada yang memuaskan, akhirnya yang bisa saya lakukan hanyalah mencoba menerapkan yang
terbaik yang bisa saya usahakan yang diputuskan dengan cara musyawarah dan
mufakat dengan pihak yang terlibat langsung.
Sebenarnya ada satu contoh KUA
yang bisa saya ikuti tetapi terus terang belum mampu saya terapkan karena banyak faktor yang tidak sama dan KUA saya
belum dapat menerapkan hal tersebut, diantaranya :
1.
Ketika ditunjuk untuk menjadi Kepala KUA, beliau
sempat menolak, tetapi kami sebagai rekannya mencoba untuk mengingatkan bahwa
tidak ada orang lain lagi yang bisa menduduki posisi tersebut.
2.
Tidak hanya sekedar melayani administrasi,
tetapi melayani, membimbing serta mampu mengayomi warganya.
3.
Tidak memungut biaya sepeserpun dari
pelayanannya yang memang tidak ada aturannya, bahkan beberapa dokumen yang
dikeluarkan dituliskan biaya gratis.
4.
KUA hanya menerima biaya pencatatan nikah sebesar
Rp. 30.000,- sebagaimana aturan yang berlaku dan tidak menerima biaya lain –lain
lagi.
5.
Biaya operasional KUA hanya mengandalkan DIPA
rutin sebanyak Rp. 2.000.000,/bulan
6.
Pada awalnya transport petugas untuk pelaksanaan
pencatatan nikah diluar kantor mengandalkan pemberian masyarakat tanpa
ditetapkan sebelumnya. Akan tetapi karena hal seperti itu tetap dianggap
sebagai gratifikasi maka KUA mulai saat ini akan berusaha menolak, tanpa harus
menghapus pelaksanaan nikah di luar kantor.
Mengapa hal tersebut dapat
diterapkan di KUA tersebut sedangkan di KUA saya tidak bisa, karena sebagaimana
yang saya sampaikan sebelumnya bahwa ada beberapa perbedaan situasi yang
memungkinkan yaitu :
1.
P3N sebagian besar mendukung dalam rangka menuju
kebaikan, tentunya pro kontra ada tetapi kenyataannya bisa dijalankan.
2.
Operasional daya dan jasa kantor relatif sedikit.
3.
Tidak ada setoran yang macam-macam (termasuk
RTB).
4.
Tidak mengangkat honorer, jadi tidak harus
memikirkan pengeluaran lain.
5.
Jumlah pelaksanaan nikah 350/setahun.
Dengan kondisi demikian, maka
sangat memungkinkan untuk menjalankan aktifitas kantor tanpa harus berupaya untuk
mendapatkan penghasilan lain. Saya tidak
tahu, berapa KUA di Indonesia yang bisa seperti ini, bagi saya ini memang
sangat ideal dan saya berupaya untuk mengikuti jejaknya.