Kamis, 09 April 2009

BIMA DALAM MEMORY
(Catatan harian seorang perantau)

Bima merupakan sebuah kota yang terletak dijung timur pulau Sumbawa. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Tradisi keagamaan yang begitu kental (walaupun sedikit-demi sedikit mulai terkikis) begitu melekat dalam kehidupan masyarakatnya, terutama bagi orang tua di Bima. Beberapa bentuk upacara kerajaan juga tidak terlepas dari tradisi agama yang dianut oleh para raja dan masyarakat Bima.
Baru-baru ini saya pulang kampung dalam rangka pernikahan adik saya. Tercatat sudah dua kali saya pulang kampung untuk menghadiri pernikahan adik perempuan dan adik laki-laki saya. Sayang pernikahan saudara saya yang tertua tidak bisa saya hadiri karena pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan.
Dari kedua pernikahan tersebut begitu kentalnya tradisi adat dan agama yang dicampur tetapi tidak bertentangan satu sama lain. Hal tersebut dikarenakan adat orang Bima adalah agama dan agama mempengaruhi adat.
Dimulai dari prosesi “Kapanca” sampai “Wa’a coi” dilaksanakan dalam suasana kebersamaan dan partisipasi dari semua kerabat dan tetangga serta handai taulan.
“coi” atau mahar bagi orang Bima merupakan bentuk dari tanggung jawab seorang calan pengantin laki-laki bahwa dia sudah mampu untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Tidak menutup kemungkinan coi tersebut berupa rumah serta isinya yang disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai. Hal tersebut tidak saya dapatkan di daerah tempat saya menetap sekarang, karena memang setiap harinya saya berkecimpung di bidang pernikahan.
Dalam tradisi jaman dahulu, bagi seorang yang sudah mencapai usia dewasa, syarat utama bagi seorang yang hendak melangsungkan pernikaha baik bagi seorang laki-laki maupun perempuan adalah harus mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Di beberapa kampung juga menerapkan syarat bagi laki-laki harus mampu menghafalkan semua bacaan dalam sholat tanpa harus dipraktekkan dengan gerakan. Hal ini memang bagi tradisi masyarakat lain sangatlah berat, karena dalam keadaan begitu banyak orang yang menyaksikan tersebut, calon pengantin harus mampu melewati ujian tersebut, padahal dengan bacaan sholat tanpa gerakan tersebut orang tidak akan semudah itu untuk melakukannya.
Tetapi inilah keunikannya, sebagai bukti bahwa calon suami sudah siap untuk menikah dan harus mampu membimbing isteri dan anak serta keluarganya dengan bekal pendidik agama.
Dari segi tanggung jawab orang tua yang hendak menikahkan anaknya, masyarakat Bima betul-betul menempatkan prosesi pernikahan sebagai suatu yang sakral yang harus dilaksanakan secara teratur selain acara sunatan maupun khataman al-Qur’an. Orang tua tidak akan melepaskan begitu saja anaknya untuk melangsungkan pernikahan tanpa terlebih dahulu dibekali dengan pemahaman anaknya tentang cara membentuk keluarga.Orang tua pengantin pria mengantar anaknya sampai ke jenjang pernikahan dan mendampinginya ketika akad nikah dilaksanakan untuk meyakinkan bahwa anaknya benar-benar telah dinikahkan. Bagi orang tua calon mempelai wanita menunggu datanganya calon mempelai laki-laki beserta keluarganya dan kemudian disaksikan oleh para keluarga beserta tetua adat dan pemuka agama mengakadkan untuk ijab dan kabulnya sehingga benar-benar mantap ketika menunaikan kewajibannya untuk menikahkan anaknya tersbut.
Prosesi semacam ini memang tidak kami temukan, malahan bertolak belakang. Dalam masalah mahar, hanya sebagai pelengkap seadanya saja. Dalam hal ijab kabul lebih sering diserahkan kepada penghulu yang bertugas. Sehingga orang tuanya lebih sebagai saksi.
Menurut informasi dari para orang tua, prosesi sebagai mana yang berlaku di masyarakat Bima merupakan trdisi dari dulu, hal ini disebabkan masyarakat Bima sangat kuat memengang tradisi agamanya dan kemampuan agama rata-rata masyarakat sama, sehingga dalam hal semacam ini biasa dilakukan sendiri. Pengecualian dai hal tersebut terjadi apabila diantara keluarga ada yang benar-benar pemahaman agamanya lebih dan untuk ijab kabul diwakilkan kepada orang tersebut yang biasanya juga merupakan keluarga atau saudara, dan bukan diwakilkan kepada penghulu.
Demikian sekelumit catatan dari seorang perantau yang mencari ilmu dan nafkah di negeri orang sebagai pelepas rindu kepada kampung halaman.

Malang, 9 April 2009

Abu al-najmi al-Bimaiy

Anda adalah pengunjung ke :